Di Kaki Gunung Penanggungan, Santri eLKISI Menjaga Warisan Perjuangan Bangsa

By Admin


Wamenag Romo Syafi'i

nusakini.com,  Tidak ada yang lebih indah dari perpaduan antara ilmu dan alam. Di hamparan persawahan yang menghijau dengan latar megah Gunung Penanggungan, Pondok Pesantren Islamic Center eLKISI Mojokerto berdiri kokoh, menjadi rumah bagi ratusan santri dari berbagai penjuru Nusantara. Berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, pesantren ini hadir sebagai pusat pendidikan dan pengabdian sosial-keumatan.

Minggu pagi itu, ketenangan alam pondok sejenak berubah menjadi semarak. Ratusan tamu dari seluruh Indonesia memadati kompleks pesantren untuk menghadiri Silaturahmi Nasional Ke-12 dan Tabligh Akbar yang digelar dengan khidmat dan penuh semangat.

Wakil Menteri Agama, Romo Muhammad Syafi’i, hadir di tengah lautan antusiasme peserta. Dalam sambutannya, ia menegaskan kembali peran sentral pesantren dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

“Para pejuang yang dididik di pesantren memiliki pemahaman keagamaan yang kokoh, sekaligus kesadaran kebangsaan yang kuat. Mereka memikirkan persatuan Indonesia, tidak terbatas pada umat Islam saja,” tegas Wamenag, Minggu (27/07/2025).

Ia mengingatkan kembali momen bersejarah 22 Oktober 1945, saat para kiai menyerukan Resolusi Jihad untuk melawan penjajah. “Seruan ‘Merdeka atau Mati’ kala itu menjadi penanda bahwa pesantren adalah benteng perjuangan dan penjaga kemerdekaan,” imbuhnya.

Semangat juang itu kini tercermin dalam keseharian para santri. Mengalahkan rasa malas, menaklukkan tantangan, dan meniti jalan ilmu menjadi bentuk pengorbanan masa kini. Di pundak para santri, harapan akan masa depan Indonesia dititipkan—melalui keahlian, integritas, dan akhlak mulia.

Lebih dari 4.000 orang, mulai dari wali santri hingga masyarakat umum, menghadiri acara ini. Wajah-wajah cerah mereka memancarkan kebanggaan. Mereka pulang dengan membawa hasil bumi dari lingkungan pesantren, juga harapan besar akan masa depan yang cerah bagi anak-anak mereka.

Salah satu momen yang paling membekas adalah sesi adu cepat tanya jawab hadits. Lima santri maju ke depan dengan tangan teguh dan penuh keyakinan. Di antara mereka, Mursyid tampil menonjol—menjawab pertanyaan dari Ketua MUI Kabupaten Mojokerto, KH Cholil Arphaphy, dengan tenang dan lancar.

Hafalan 300 hadits yang ia tekuni selama berbulan-bulan membawanya ke panggung kebanggaan. Senyum haru kedua orang tuanya pecah saat Mursyid memperoleh predikat mumtaz. Tepuk tangan membahana, termasuk dari Wamenag yang menyaksikan langsung momen itu.

“Perjuangan santri dalam menuntut ilmu agama tak ubahnya perjuangan bangsa saat mengusir penjajah. Sejarah emas ini harus terus dijaga, agar kita tidak mudah dipecah belah oleh provokasi,” ujar Wamenag menutup sambutannya. (*)